NILAI-NILAI DALAM KONSTITUSI

NILAI-NILAI DALAM KONSTITUSI

Oleh

ANDI SUNARTO


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
          Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu Negara. Dengan kata lain, konstitusi membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan Negara.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis adalah induk dari segala perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.
Menurut Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 macam nilai Konstitusi atau the values of the constitution, yaitu:
  1. Normative value (Nilai Normatif);
  2. Nominal value (Nilai Nominal);
  3. Semantical value (Nilai Semantik).
Untuk itu, kami akan menelaah lebih lanjut, bahwa UUD 1945 itu menganut nilai apa dan bagaimana pengimplementasiannya dalam kehidupan bernegara. Hal ini dianggap perlu karena pelaksanaan UUD 1945 harus efektif dalam pelaksanaan nilai-nilai yang dianutnya.
Rumusan Masalah 
Materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah NILAI KONSTITUSI YANG DIANUT OLEH UUD 1945. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas kami batasi pada :
  1. Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi;
  2. Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945 ;
  3. Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
  1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Konstitusi, yaitu: Nilai Konstitusi yang Dianut oleh UUD 1945;
  2.  Untuk mengetahui Nilai yang dianut oleh UUD 1945 dan praktiknya dalam kehidupan bernegara.
Metode Penulisan
Dalam proses penyusunannya makalah ini menggunakan metode study literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian daftar bacaan dan pengumpulan dokumen, dengan menggunakan media baca sebagai sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Dalam bagian ini kami memaparkan beberapa pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah.
Bab II Pembahasan. Nilai Konstitusi yang Dianut oleh UUD 1945 Pada bagian ini merupakan bagian pertama yang hendak dikaji dalam proses penyusunan makalah ini. Kami berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bab III Kesimpulan. Pada bagian ini kami berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
NILAI KONSTITUSI YANG DIANUT OLEH UUD 1945
Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (Tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values of the constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma konstitusi, yaitu:
  1. Normative value (Nilai normatif);
  2. Nominal value (Nilai nominal);
  3. Semantical value (Nilai semantik).
Jika berbicara nilai konstitusi, para sarjana hukum pun selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai konstitusi tersebut, yaitu : normatif, nominal, dan semantik. Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan sebagaian lainnya hanya bernilai nominal
Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif.

Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Kemudian, Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal. Misal pada pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut, tampaknya UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.
Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945.
Dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tersebut.
UUD 1945 tampaknya menganut Nilai Nominal karena dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi tersebut berlaku secara menyeluruh dan dijalankan dengan konsekuen. Contohnya saja pada Pasal 28 D (1) Bab XA UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pertanyaannya sekarang apakah kata-kata yang mengatakan bahwa kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum itu konsekuen dengan faktanya dalam kehidupan bernegara ? Oleh karena itu, jika UUD 1945 kita ingin diubah nilainya menjadi nilai normatif, maka harus sesuai antara Das Sein dan Das Sollen dalam pelaksanaannya di kehidupan bernegara.

BAB III
KESIMPULAN

1.    Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
2.    Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
3.   Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
4.   Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai konstitusi yang berlaku adalah nilai semantik
5.   UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.
DAFTAR PUSTAKA
J. Zurcher,Arnold (Karl Loewenstein).1955. Reflections on the Value of Constitutions in our Revolutionary Age. New York: New York University Press.
Thaib Dahlan. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT. Rajagrafindo persada
H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Hj. Ni’matul Huda. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. 
            Jakarta: Rajawali Pers.
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Romi Librayanto, 2009. Ilmu Negara Suatu Pengantar, Makassar: Pustaka Refleksi,

Comments

Unknown said…
Tulisan loe baguss boosss